Podjok: Kalijodo dan Jakarta

16.43



"Lah taman apa ini, Mbak? Orang-orang pada dikemanain?"

Mengawali tahun dengan sesuatu yang bermanfaat. Itu adalah salah satu visiku untuk memulai capaian #Resolusi2017 versiku. Sempat vakum menulis artikel dan bahkan berpikir mengenai permasalahan perkotaan dan pembangunan, tiba-tiba sebuah film dokumenter rekomendasi seseorang di tengah percakapan yang ala kami itu menggugah ruang pikir sekaligus jiwa petualangku. Akibat dorongan dari dalam diri yang juga in line dengan capaian untuk mengaktualisasi diri lewat tulisan kembali, maka aku memulai lembaran baru di laman blog baru berikut ini.
 
Bila kalian adalah penduduk Jakarta ataupun seseorang yang 'menumpang' hidup di Jakarta demi semangkuk bubur ayam dan sudah beberapa tahun menetap, kalian pasti akrab dengan kata penggusuran. Penggusuran berasal dari kata gusur yang Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menjadikan (membuat, menyuruh) pindah tempat; menggeser tempat. Merasakan pemaknaan penggunaan kata gusur saja sudah diketahui ada paksaan di sana. Sesuatu yang berdasarkan perintah dari pihak lain. Oleh sebab itu, janganlah heran bila kemudian persoalan gusur-menggusur ini menjadi topik pro kontra masyarakat perkotaan. Sederhananya saja, siapa yang senang dipaksa dan mengapa juga seseorang perlu berlaku memaksa. Eits, tulisan ini bukan terkait benar salah dan bukan persoalan memilih salah satunya. Coba kalian ikuti saja terlebih dahulu cara berpikirku berikut ini.

***
Sepanjang 2016, setidaknya terdapat 6 (enam) peristiwa penggusuran yang menyita mata kamera pemburu berita. Judul headline berita di ragam media pun sempat merekam beberapa peristiwa besar ini. Peristiwa tersebut termasuk penggusuran Kalijodo pada Februari 2016, Kampung Akuarium atau Pasar Ikan pada April 2016, Pulomas, Kampung Dadap, Rawajati, dan Bukit Duri. Alih-alih membahas keseluruhan peristiwa tersebut dalam sebuah catatan pendek kota pertama di blog ini, aku lebih memilih menyajikan tulisan terkait Kalijodo hari ini. Toh aku telah sempat berkunjung ke sana.


Siang hari itu begitu terik. Dari Stasiun Jakarta Kota, aku memilih menggunakan jasa ojek online ketimbang berjalan kaki untuk menuju lokasi penggusuran Kalijodo yang telah disulap menjadi skate park. Kalimat pembuka dalam tulisan ini adalah reaksi pengemudi ojek online yang terkejut mengetahui perubahan kawasan ini. Berjalan memasuki taman ini, dapat kubaca jelas bahwa RPTRA ini persembahan Sinarmas. Tunggu sebentar, kalian tentu tau kan apa itu RPTRA? Baiklah akan kujelaskan sedikit mengenai RPTRA ini. RPTRA yang merupakan singkatan dari Ruang Publik Terpadu Ramah Anak yang berupa konsep pengadaan ruang terbuka publik disertai dengan fasilitas untuk anak-anak seperti taman bermain, taman baca, dan bahkan ruang laktasi. Program ini di DKI Jakarta diinisiasi oleh Bapak Basuki Tjahya Purnama (gubernur DKI Jakarta) untuk menciptakan ruang terbuka yang lebih banyak dan tentu saja predikat kota ramah anak. Untuk perwujudannya, di DKI Jakarta, pemerintah provinsi mengundang swasta melalui dana CSR (Corporate Social Responsibility)-nya untuk berkontribusi dalam pembangunan kota dengan pengadaan RPTRA ini. Jangan ditanya kembali mengapa Jakarta perlu lebih banyak ruang terbuka, secara nasional melalui UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota di Indonesia memang diamanatkan untuk memiliki paling sedikit 30% ruang terbuka hijau.

Usai berbaur dengan orang-orang yang tengah beraksi di atas papan seluncurnya, aku mengambil foto, berjalan, dan melihat-lihat ke sekitar area. Taman yang belum sepenuhnya rampung pengerjaannya ini, memang sangat panas pada siang hari karena belum didapati pohon-pohon peneduh pun peneduh buatan. Dari hasil berkeliling, aku mendapati ruang pkk, taman bermain anak, dan semacam aula kecil yang dapat kujumpai di sana beberapa orang yang mungkin 2-3 tahun lebih tua dari aku sedang menata buku cerita anak di lantai dan 1 orang lainnya sedang memanggil anak-anak yang panas-panasan bermain di taman permainan. Aku juga mendapati toilet yang bersih ada sebagai fasilitas pelengkap di ruang terbuka tersebut.

Selepas berkeliling, aku memutuskan untuk membeli makanan dan minuman dingin di salah satu warung kecil di pinggiran taman sekalian untuk mengobrol dengan pedagangnya. Aku pikir, dengan mengobrol singkat dengan penduduk sekitar tentu saja akan membantu aku melengkapi puzzle cerita yang tak pernah aku ketahui. Obrolanku dan bapak penjual dimulai dengan pertanyaan, "Sudah lama berjualan di sini, Pak?" yang kemudian ditimpali cepat si Bapak yang mungkin saja usianya empat puluh tahunan itu, "Belum, Neng. Ini mah baru baru aja karena di sini ramai, ya jadi ke sini."

Singkat cerita obrolan ini menarik karena sesungguhnya Bapak ini bukan eks-penduduk kawasan tergusur ini. Beliau memang pedagang yang kemudian berpindah ke area ini karena kawasan ini mulai menjadi ramai orang-orang yang hendak berolahraga baik bersepeda maupun bermain skateboard. Menurut beliau, dulu tempat ini kumuh dan padat rumah. Tidak banyak anak-anak yang bisa bermain berlarian seperti saat ini. Botol minuman keras dan bahkan aromanya pekat di area ini. Tak berhenti menjelaskan cerita buruknya kawasan ini sebelum adanya penggusuran, beliau juga menceritakan keprihatinan beliau terhadap beberapa warga yang tinggal di kawasan tersebut yang sempat luntang lantung tak tau akan berpindah kemana. Saat ditanyakan fasilitas rusun yang disiapkan pemerintah, seorang bapak lagi bergabung dalam obrolan kami. Aku kurang paham beliau siapa, tapi tampaknya hal ini menarik bagi beliau karena tampak dari nada berbicaranya yang cukup menggebu-gebu, "Ah, rusun disediakan tapi kami ya tetap mbayar, Mbak. Mahal lagi. Jauh dari tempat sekolah anak-anak." Beliau kemudian menjelaskan bahwa lokasi rusun (rumah susun) yang jauh cukup menjadi kendala yang bersangkut paut dengan pekerjaan dan sekolah anak-anak. Di tempat yang baru, orang belum bisa beradaptasi. Pekerjaan lama ditinggalkan dan belum mendapatkan peluang untuk pekerjaan baru. Pelatihan ketrampilan yang sempat dijanjikan pemerintah pun kabarnya belum ada realisasinya.

Mengobrol sana sini akhirnya harus diakhiri. Diskusiku pun malah berlanjut dengan Akang via aplikasi pesan online. Akang juga baru memberitahu bahwa kawasan tersebut dulunya adalah area prostitusi yang begitu besar. Walahdalah. Jujur saja, sebelum berangkat ke sana, aku belum banyak membaca cerita kawasan tersebut. Hanya bermodal informasi sedikit dari media tentang berita penggusuran dan tentu saja film dokumenter.

Diskusi dan pola pikir berkembang. RPTRA Kalijodo hari ini jelas adalah bukti nyata suksesnya program pemerintah mendorong pertumbuhan jumlah RTH dan/atau RPTRA di DKI Jakarta. Ia pun salah satu capaian dari upaya menyelesaikan 'penyakit masyarakat' dengan menghilangkan usaha prostitusi di area tersebut. Upaya pemerintah yang telah dilakukan jelas memberikan banyak dampak positif terhadap lingkungan apalagi bila kemudian disertai dengan program pengelolaan air sungai yang terdapat di sebelah taman ini. Maka lengkap sudah. Namun, kemudian persoalan bergeser kepada bagaimana bila kita menyoal tempat tinggal. Persoalan kebutuhan dasar seseorang. Sebagaimana yang aku dapati sewaktu kuliah, yang aku tahu, setiap individu memiliki kebutuhan dasar yakni sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar ini, setiap individu memliki kecenderungan untuk berusaha 'mati-matian' untuk melengkapinya meskipun untuk yang paling sederhana sekalipun. Ingat, tren, mode, dan sebagainya adalah kebutuhan sekunder atau bahkan tersier yang mengikuti kebutuhan dasar bukan kebutuhan dan cenderung ke tuntutan.

Bagi warga dengan KTP DKI Jakarta disediakan rusun baik yang di Marunda maupun yang di Pulogebang. Bukan rusunami tapi rusunawa. Mari kita berbicara baiknya, fasilitas telah disiapkan. Lingkungan yang baru memiliki kualitas yang lebih baik daripada lingkungan yang sebelumnya, program pelatihan usaha setidaknya telah direncanakan meski entah kapan realisasinya, dan jelas saja mengoreksi 'kesalahan' urbanisasi yang terjadi di Jakarta.

Kurang baiknya, adanya penambahan jarak baik ke lokasi bekerja maupun sekolah bisa jadi mencekik karena perlu ekstra travel cost harian. Biaya perjalanan di Jakarta tinggi, Bung. Tengok saja data kerugian di jalan akibat macet. Terlebih belum disertai 'reformasi angkutan publik' yang paripurna. Pelik. Selain itu, rusunami ini yang menjadi concern. Terutama bila alasan bangunan ilegal atau liar tersebut bisa disanggah. Bila kemudian yang tergusur memiliki SHM, maka akan berbeda cerita. Aku sendiri kurang tau banyak untuk penggusuran dengan status SHM. Sebenarnya bila tergusur dengan sertifikat HGB pun, secara psikologis bila mereka menuntut rusunami, itu masih masuk akal bagiku. Mereka tak memiliki lahannya, tapi bangunan di atasnya sudah puluhan tahun mereka miliki dan mereka memiliki kuasa terhadapnya. Selain itu, mereka pun membayar pajak SPPT PBB. Maka, masuk akal bila mereka terbiasa untuk tinggal di bangunan yang mereka miliki sendiri.

Bagiku, urbanisasi adalah fenomena perkotaan. Kota sendiri yang perlu mendefinisikan wajahnya akan dibuat seperti apa bagi pendatang. Terlebih bagi pendatang dengan tipikal hanya memanfaatkan social capital atau mengejar mimpi dari desa sebab sepenggal kisah sukses tetangga desa tanpa disertai keahlian. Kota tak selamanya menjanjikan kesuksesan. Ingat. Di desa, lahan sawah masih banyak yang bisa digarap, masih ada kisah tengulak culas yang masih bisa diberantas untuk menuju kesuksesan. Maka benar bila kemudian lebih baik orang yang tak ber-KTP setempat dirujuk untuk kembali pulang ke daerah dan menjajal kisah sukses di daerah masing-masing yang mungkin lebih sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki dan biaya hidup yang tak 'menggorok nadi'. Namun kemudian, manjadi PR bagi perkotaan bila ingin beramah tamah dengan si pendatang terlebih bila pendatang telah beranak pinak dan cucu nya kini telah puluhan tahun menetap di kota tersebut meski tanpa KTP setempat. Dilematis. Kota perlu menentukan sikap. Pemerintah harus tegas. Upaya yang dilakukan pun harus berimbang. Selamanya permasalahan kota memang akan seperti dua sisi koin yah pro dan kontra. Tapi memang saatnya menentukan 'wajah' mana yang mau dipilih. Konsisten itu perlu dan jangan lupa solutif. Jangan sampai memberikan solusi sepenggal sepenggal, sebentar sebentar, dan terpotong potong. Bila sudah disiapkan rusunnya, mungkin bisa kemudian dipikirkan alternatif bila kemudian rusunawa berubah menjadi rusunami. Dilakukan juga pembekalan ketrampilan dan rumah usaha bersama sehingga menjadi opsi untuk mendapatkan penghasilan yang bisa untuk menghidupi keluarga. Dilakukan juga pembenahan bertahap bagi angkutan umum yang terjangkau agar bisa menekan travel cost yang meningkat tadi. Jangan melulu jalan, jangan melulu bensin, atau malah mobil murah.

Aku selalu ingat perkataan salah satu mentor kami di UNESCAP yang berkata bahwa, "Setiap orang yang sudah tinggal di kota, maka ia adalah bagian dari kota. Bila ia menimbulkan permasalahan bagi kota, maka masalah itu adalah masalah bagi kotanya juga bukan kota orang lain. Artinya, dia pun merasakan akibat dari masalah itu juga."

Kalau istilah aku, untuk menutup cerita ini, "Menganak tiri-kan anak kandung sendiri." Mungkin itu yang belakangan ini dialami kota-kota besar di Indonesia. Salah satunya, Jakarta.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

How To Contact Me

Chat me! IG (@anggsiregar) and/or send me email to delianipsiregar@yahoo.com

Friends'